Review Are You There God? It’s Me, Margaret. Dilema Pencarian Jati Diri Menemukan Tuhan.

Review Are You There God? It’s Me, Margaret.

“I don’t know God. The people seem nice, and I loved the music, but I guess I expected something else?”

(Margaret)

Aku tahu film ini karena ramai beberapa saat di linimasa, dan entahlah kayanya pengen aja buat nonton gitu. Trailernya udah terlalu menggemaskan buat dilewatkan, bayangkan kisah anak 11 tahun dengan latar tahun ’70 an? Ini mah salah satu film coming of age terbaik sepanjang masa!

Are You There God? It’s Me, Margaret adalah sebuah film drama komedi remaja yang diadaptasi dari novel klasik fenomenal berjudul sama karya Judy Blume. Novel ini rilis tahun 1970, dan sebelumnya Judy Blume sendiri menolak semua tawaran adaptasi novelnya. Hingga akhirnya menerima tawaran James L. Brooks dan Kelyy Fremon Craig.

Siapa sangka sih film coming of age yang bersumber dari novel 50 tahun lalu masih bisa relate sama situasi jaman sekarang?

Margaret Keluar Dari Zona Nyaman

Inget fim Petualangan Sherina kan? Semua berubah saat dia keluar dari zona nyaman karena pindah tempat tinggal.

Yaps. Seorang gadis kecil berusia awal belasan tahun terlihat murung setelah pulang camping, dapet berita kalau dia harus ikut kedua orang tuanya pindah kota.

Keluarga Simon harus pindah dari New York ke pinggiran New Jersey karena ayahnya, Herb Simon (Benny Safdie) pindah tugas. Mau ngga mau Margaret dan ibunya yang seorang seniman, Barbara (Rachel Mc Adams) harus ikut juga.

dekat dengan neneknya

It’s the beginning of the end of her world. Margaret (Abby Ryder Fortson) doesn’t wanna leave the family’s cozy, cluttered apartment, her friends at school, and most of all her grandmother, Slyvia (Kathy Bates).

But this decision is beyond her control.

Sang ibu menjanjikan kalau semua akan berjalan baik-baik saja. Ngga ada yang perlu dikhawatirkan karena mereka akan cukup mudah beradaptasi.

Barbara berjanji ngga akan kerja dan menetap di rumah jadi full time mom buat Margaret.

Semudah itukah?

Baca Juga:

Review Turning Red: Rumitnya Transisi Anak ABG

Ketemu Nancy dan Bikin Geng Ciwi Ciwi

Dimulailah kehidupan baru Margaret dan kedatangan Nancy Wheeler (Elle Graham) sebagai teman pertama, sekaligus tetangga dan teman sekolah yang kayanya asyik.

Margaret ini tipe anak yang lugu, polos, periang, dan mudah bergaul. Ngga neko-neko dan ngga cepet puber, yah sesuai banget ama umurnya lah.

Kalau menurutku Nancy ini ‘terlalu dewasa’ yang bisa banget ngajakin Margaret nyemplung ke pergaulan remaja pubertas gitu.

Margaret bust scene

Nancy punya geng dengan dua temennya, Janie dan Gretchen yang hobi banget ngenalin cara-cara menarik perhatian cocok paling popular di kelas.

Nancy juga nge-brainwash buat fokus pada pertumbuhan fisik cewek seumuran mereka. We must increase our bust adalah keseharian yang jadi fokus mereka saat pertemuan rahasia di rumah Nancy.

Margaret pingin pake bra

“Are you there God? It’s me, Margaret. I just told my mother I wanted a bra. Please help me grow God. You know where.”

(Margaret)

Selucu itu saat mereka deg-deg an nyobain bra, rutin senam payudara, membaca majalah dewasa, membahas first kiss, hingga you know ~ prediksi siapa yang bakal mens duluan!

Siapa yang ngga pengen senyum-senyum sih.

Aku jadi inget dulu juga deg-deg an banget saat tahu kalau temen-temenku udah pada dapet haid pertama mereka saat tahun pertama SMP. Aku udah ngira kalau aku ini ngga normal dan ngga akan  bisa melahirkan anak karena ngga punya sel telur!

Iya se-lebay itu. HAHAHA.

Finally I got my first period pas SMP kelas 2. Dan aku awalnya bakal membayangkan yang gimana gitu. Ternyata ngga tuh. Bahkan aku ngerasa B aja saat hal tersebut pertama kali dateng. Hehehe.

Baca Juga:

Review Like & Share: Pergulatan Remaja Menghadapi Realita Tabu Hasrat Seksual

Margaret Berinteraksi Dengan Tuhan

“I lived in New York for eleven and a half years and I don’t think anybody ever asked me about my religion. I never even thought about it. Now, suddenly, it was the big thing in my life.”

(Margaret)

keluarga yang sayang banget sama Margaret

Agaknya aku jadi ngerasa banget kalau Margaret ini aslinya tuh kesepian. Bukan karena kurang kasih sayang, justru kedua orang tuanya sayang banget dan melimpahinya dengan berbagai kehangatan. Ibunya yang selalu mendengarkannya dan ayahnya yang super bapakable.

Sayangnya, Margaret ngga mengenal Tuhan-nya. Dia belum tahu akan berlabuh pada “Tuhan” yang mana? Herb dan ibunya, Sylvia, adalah keturunan dan penganut Yahudi. Sedangkan Barbara penganut Kristen.

Barbara sempet bertengkar hebat dengan kedua orang tuanya, dan bahkan diasingkan dari keluarganya karena nekat kawin sama Herb.

Margaret berinteraksi dengan Tuhan

“I’ve been looking for you God. I looked in the temple. I looked in the church. And today, I looked for you when I wanted to confess. But you weren’t there. I didn’t feel you at all. Not the way I do when I talk to you at night. Why God? Why do I only feel you when I’m alone?”

(Margaret)

Margaret sering banget berdialog sama Tuhan, meski ia sendiri ngga tahu sama keberadaan Tuhan. Film ini sangat berani mengangkat isu yang sangat sensitif seperti ini.

Tapi ini menurutku bukan untuk memengaruhi kita harus beragama apa, ngga gitu, ini hanya sebuah perjalanan seorang remaja yang rindu berbincang pada Tuhan dan mencari jati dirinya.

Margaret nyobain juga tuh berbagai macam acara ritual ibadah, ikutan neneknya misa, ikutan temennya ke gereja Protestan, bahkan nyoba pengakuan dosa di gereja Katolik. Dia suka mendengar ceramah, nyanyian, tapi belum merasakan keberadaan Tuhan.

Sang sutradara, Kelly Fremon Craig, nampaknya berhasil menggambarkan Margaret yang gelisah setiap ada masalah hingga melibatkan Tuhan pada setiap aspek hidupnya. Padahal yah, Margaret sedang tidak memeluk agama apapun!

Diskusi Dengan Mr. Benedict

Someday si Margaret dapet sebuah project dari gurunya, Mr. Benedict (Echo Kellum) dan memilih project in religion.

Pada akhirnya Margaret menulis surat ke gurunya kalau dia ngga bisa menyelesaikan project tersebut karena belum menemukan agama yang tepat. Dia merasa kalau pada akhirnya malah merasa takut beragama.

Agak satire juga sih pesannya bisa jadi kritik yang relevan dengan kondisi krisis religius saat ini.

Pandangan Pribadi Setelah Menonton Film Ini

Bersyukurnya aku lahir dan besar di keluarga Muslim. Yah kita semua terlahir dan ngikut dulu sama agama orang tua kita, ya kan?

Setelah cukup dewasa, mungkin pada akhirnya kita bisa memilih keyakinan mana yang paling sesuai. Semua balik lagi sama diri masing-masing mau stay apa pindah. Saat aku di umur belum sekolah udah harus ikutan TPQ dan ikutan pesantren kilat, rasanya aku bener-bener mengenal Tuhanku.

Aku tahu pasti tempat untuk berdoa, tempat untuk pulang, tempat untuk memohon ketika semua tak mengerti aku. Tapi Margaret ngga bisa begitu.

Apalagi anak remaja yang benar-benar rapuh, ngga ada pegangan, ngga ada tempat mengadu. Siapa sih yang ngga pernah tengkar sama orang tua, sama temen? Siapa sih yang ngga pengen nilai bagus dan lulus ujian? Ke mana kamu memohon agar semua keinginanmu terkabul?

Tuhan adalah semua jawaban semua resahmu.

Aku benar-benar melihat diriku sendiri saat seusia itu, lagi galaunya masa puber tuh pengaruh sama fisik dan emosi. Mulai punya crush, mulai menstruasi, bertengkar ama nyokap, ditembak temen sekelas pake surat.

Semua kejadian di film ini relate banget sama jaman kami dulu yang ngga punya HP. Kami para remaja juga belajar menjadi dewasa yang ternyata emang ngga gampang.

Childhood emang butuh proses alami dan natural, ngga dipaksakan, dan ngga terlalu cepat juga. Semua orang punya pace-nya sendiri. Bukan tugas kita sebagai orang tua untuk tergesa-gesa menjadikan mereka dewasa.

Margaret sendiri adalah cerminan kita, anak-anak kita, atau siapa pun juga. Semua yang dilakukannya adalah implementasi dari keseharian dan keinginan kita dalam kegiatan sehari-hari.

“Are you still there God? It’s me, Margaret. I know you’re there God. I know you wouldn’t have missed this for anything! Thank you, God. Thanks an awful lot.…”

Margaret

By thekurniawans

The Kurniawans adalah sebuah catatan keluarga, jelajahi kisah pengasuhan, perjalanan, dan semua cerita menyenangkan.

25 thoughts on “Review Are You There God? It’s Me, Margaret. Dilema Pencarian Jati Diri Menemukan Tuhan.”
  1. Kegelisahan yang sama dengan yang diungkapkan putriku sejak usia 11 tahun. Mulai soal pubertas, sosial, juga Tuhan. Yah, bersyukurnya, dia punya sumber info terdekat yaitu ortu yang bisa ditanyai

  2. Lucu juga ya kalau mengingat hari pertama dapat haid. Bagus sih mereka tahu apa itu haid kalau saya dulu sama sekali nol besar soal inj. Jadi pas haid tiba malah bingung apa yang terjadi denhan diriku.
    Perjalanan menemukan Tuhan dibuat dalam bingkai sederhana walaulun sebenarnya nggak seperti itu

    1. Kalau jaman dulu kayanya edukasi bagian reproduksi tuh tabu yaa dibicarakan. Jadinya kita juga meraba-raba sendiri saat masa pubertas. Sekarang mah udah semudah itu cari info, tapi yah harus didampingin ortu jugaa.

  3. Film Are You There God? It’s Me, Margaret ini ternyata adaptasi dari novel tahun 1970 an ya. Keren sih, udah 50 tahun tapi penulis enggan mengangkat novelnya ke layar lebar dan baru kali ini mau. Bisa jadi whistlist menarik nuh

    1. Iyaa, dan ternyata emang seseru itu sih filmnya. Relate ditonton emak2 juga yang lagi punya anak gadis hehee.

  4. Keren ya, Kak. Melihat cerita ini, jadi berpikir kalau sebenarnya pergulatan hidup remaja mencari jati diri dan mengenal pribadi Tuhan pada dasarnya tetap sama, baik dari zaman dulu sampai sekarang.

  5. Wah, aku kayaknya kudu nonton deh
    Soalnya anakku tahun ini menginjak 11 tahun
    Siap siap menghadapi masa pubertas

  6. Wah, iya ceritanya relate banget sama waktu dulu masa-masa pubertas. Memang peran orang tua untuk membimbing besar banget. Kayaknya keren ya filmnya, jadi penasaran pen nonton.

  7. Ya benar sekali hal penting yang perlu kita persiapkan bantu ketika anak kita mulai kritis dengan hidup yang mereka jalani

  8. Tema yang diangkat ini bagus yaa..
    Untuk remaja saat itu, remaja Amerika dan kondisi culture negara ternyata membuat anak-anak bisa berpikir sejauh itu mencari “Tuhan” mereka siapa.

    Beda banget sama anak Indonesia di tahun tersebut yaa..
    Memang negara maju membebaskan semua anak bisa berpikir lebih luas dan terbuka.

    Padahal kalau mau dilihat yah, Indonesia juga multi-religion.
    Tapi kita masih kolot banget kalo ada anak remaja yang mencoba mempertanyakan hal mengenai agama.

  9. Waktu baca awal artikelnya kok kaya ga asing dengan kisahnya, ternyata benar diangkat dari novel. Keren temanya, walaupun novelnya sudah lama tapi bisa relate dengan segala pertanyaan dan kegundahan terutama yang sedang proses mencari jati diri

    1. Menarik filmnya, bisa ditonton anak2 juga ya ini. Sekalian pembelajaran mengenalkan adanya Allah yang mengatur kehidupan ini. Jadi penasaran sama filmnya.

  10. Lingkungan itu pengaruh banget, yak, atas diri seseorang. Jadi penasaran betapa gelisahnya Margaret di film, ini.

  11. Waa, isinya menggambarkan keadaan banyak remaja juga ya Kak. Bagaimana mereka mencari jati diri, lebih memilih pendapat teman-teman dibandingkan orangtua. Dan memang cara paling ampuh untuk melewati momen-momen ini adalah mendekatkan mereka dengan Sang Pencipta. Pondasi yang harus dibentuk sejak kecil sih agar gak lari ke mana-mana akhirnya.

    1. Keresahan mencari Tuhan sangat manusiawi ya, mungkin memang mqnusia diciptakan seperti itu. Bersyukur lahir sebagai muslim, jadi tidak mengalami kebingungan dan keresahan spt Margaret.

  12. Wah jadi penasaran sama filmnya. Kalau dipikir mereka yang sejak kecil sudah dikenakan agama itu termasuk beruntung ya karena setidaknya mereka kenal Tuhannya dan tahu kalau berdoa harus ke mana

  13. Mengingatkan saya kepada Dunia Shopie, tetapi sepertinya yang ini lebih ringan karena ada komedinya. Perjalanan spiritual merupakan perjalanan yang paling pribadi. Alhamdulillah kita dibesarkan dalam keluarga Muslim, ya, Mbak. Jadi, sudah tau arah yang dituju ketika bimbang dan gelisah.

    1. Iyaa mbaaa, makanya bersyukur banget lahir di keluarga Muslim. Seenggaknya ada support system saat gundah gulana hehehe.

  14. Dari reviewnya bagus nih, komedi lagi. Saya suka. kalau dari reviewnya saya memberi kesimpulan betapa pentingnya kita orangtua mengenalkan Tuhan kepada anak sejak dini.

  15. Semakin dewasa, semakin kerasa enak banget punya “pengangan” berupa agama. Kalau lihat film atau baca novel, gamang banget hidup ga ada agama

  16. Lucu juga pas part tentang haid, tapi kelihatan asyik sih untuk dinikmati dan banyak pelajaran yang dapat diambil dari film ini

  17. Perjalanan seorang remaja untuk menemukan Tuhannya sepertinya menarik, menurutku jarang banget film yang menyandikan remaja agama. Meski kelihatannya film ini memiliki ending yg kurang srek tapi patutlah untuk dinikmati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *