“Orang biasa kaya gue tuh, mau mimpi aja harus tahu diri.” – Kaluna
Kaluna menguap lagi, entah untuk yang keberapa kalinya malam ini. Sudah pukul 7 malam, tapi ia masih terjebak dalam kubikel di kantornya. Mungkin, semakin malam ngga akan semacet sore hari saat semua barengan pulang kerja, pikirnya.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, ia membuka sheet rincian goals tabungannya untuk membeli rumah. Kal menghela napas, rupanya masih kurang.
Ia menutup laptopnya, membereskan kertas-kertas di meja kerjanya, dan memutuskan berkemas. Wajah murung dan sayu selepas kerja adalah hal biasa yang sering kita lihat di bus kota atau kereta cepat di Jakarta.
Entah matahari terbit atau matahari sudah lama terbenam, orang-orang tetap saja berjalan terburu-buru, bahkan berlari kecil. Berebutan menjadi yang pertama masuk taransportasi umum.
Semua orang sibuk dengan ponsel pintar di genggaman tangan masing-masing. Begitu juga Kaluna yang sibuk memasang earphone di telinganya, untuk membunuh jenuh. Bercampur dengan peluh yang menyeruak dan membaur bersama penatnya udara ibukota.
Sampai rumah, tak biasanya ia disambut keheningan. Biasanya mainan berserakan di depan pintu, namun saat itu semua keluarganya berkumpul di meja makan. Apakah ada sesuatu?
“Bapak kan sudah pernah bilang. Ngga usah beli tanah itu, kalau uangnya belum kekumpul,” suara bapak meninggi.
“Kita juga ketipu. Terlanjur! Mana kita tau, sih,” balas Natya, menyela dan ngga mau kalah.
“Ya, kalau ambil pinjol itu bukan terlanjur, tapi bego namanya!,” Kamala mulai panas, dia bahkan tak bisa menahan teriakannya.
“Tolong Kal, kalau ngga, kita semua kehilangan rumah ini,” Karendra bersimpuh di samping Kaluna, memohon belas kasihan agar Kal mau menolongnya. Kakak laki-lakinya yang jadi biang keladi permasalahan utang keluarga Kaluna.
“Hidup gue di sini juga udah kaya pembantu. Terus sekarang gara-gara kebodohan lu, masih gue juga yang harus tanggung?”
Kaluna menenteng tasnya, menyeret kopernya, tak berlama-lama beranjak pergi dari rumah itu. Dadanya kembang kempis bersama gemuruh amarah yang tak bisa lagi dikendalikan. Sekuat tenaga Kal menahan genangan yang hampir tumpah dari pelupuk netranya.
Rupanya ia gagal. Tak peduli seberapa kuatnya menahan, akhirnya pipinya pun basah. Semua perasaan yang ia simpan rapat seorang diri, kini meluap bagai air bah. Kemarahan, kekecewaan, kesedihan, kelelahan, entah rasanya tak bisa diungkapkan. Kal hanya bisa sesenggukan bersama kesepiannya.
Generasi Sandwich Yang Ingin Punya Rumah
“Makanya orang pas-pasan kaya aku, ngga berhak punya rumah sendiri?” – Kaluna
Stigma bahwa Gen Z ngga akan pernah bisa membeli rumah nampaknya makin ke sini makin nyata. Kini sebagian besar Indonesia didominasi oleh Gen Z. Dilansir dari kompas.com, populasi Gen Z hampir mencapai 75 juta jiwa, atau 27% dari total populasi Nasional.
Kebanyakan dari mereka mendapat label tidak bisa membeli rumah karena banyaknya isu negatif terkait gaya hidup yang berlebihan. Rata-rata pendapatan Gen Z pada tahun 2023 lalu masih di bawah 2,5 juta rupiah per bulan (Yonatan, 2024).
Ini menjadi satu faktor pendukung mengapa Gen Z tidak bisa membeli rumah dalam waktu cepat atau lambat. Belum lagi harga properti yang tiap tahun makin meroket.
Terus apa kabar para generasi sandwich?
Home Sweet Loan menempatkan kita pada keresahan Kaluna. Seorang anak bungsu yang dianggap ‘paling’ tidak punya beban hidup karena belum berkeluarga. Sebuah kehidupan orang kelas menengah ke bawah yang punya ambisi memperbaiki hidup, namun kalah oleh kondisi keluarga.
Meski pendapatannya ngga sampai dua digit dan hidupnya pas-pasan, Kaluna terus berjuang mewujudkan rumah impiannya. Bahkan meski dipandang rendah oleh kekasihnya karena terlalu pelit, Kal tetap yakin kalau dia kelak bisa membeli rumah sendiri dan lepas dari keluarganya.
Untungnya ada ketiga sahabatnya, Tanis, Miya, dan Danan, yang memberi warna dalam kehidupannya. Sahabatnya juga setia menemani perjalanan Kal mencari rumah.
Berjuang Setengah Mati Menanggung Keluarga
Rumah orang tua Kaluna tak hanya diisi keluarga inti mereka, namun ada ayah, ibu, Karendra, Kamala, dan Kaluna. Ada pula ipar dan keponakannya. Sebuah rumah dengan beberapa karakternya masing-masing.
Kakak Kaluna juga bekerja, tapi juga tak banyak membantu perekonomian keluarga. Bahkan urusan token listrik aja masih Kaluna yang mengatasi.
“Gue juga mikir. Hidup gue bakal beda ngga ya, seandainya gue egois sedikit aja?” – Kaluna
Dengan gaji yang ngga sampai dua digit, Kaluna bisa menabung hingga 300 juta. Kal memilih membawa bekal dari rumah, ngga mengontrak rumah dan bertahan di rumahnya sendiri, juga mendengarkan lagu dari platform online yang kadang muncul iklannya.
Ternyata memang di balik desak-desakan yang setiap hari dia rasakan tiap berangkat dan pulang kerja, ada keluarga yang bernafas lega karena terpenuhi kebutuhannya.
Anak Perempuan, Pekerjaan Rumah, dan Tak Diberi Bahu untuk Bersandar
Siapa bilang, anak perempuan pertama harus menjadi kuat untuk adik-adiknya? Nyatanya anak bungsu perempuan juga tak semuanya bernasib baik.
Kaluna juga punya kakak laki-laki, tapi lagi-lagi Kal yang menjadi tempat terakhir keluarga ini menggantungkan nasib.
Selain masih mencari nafkah di sektor publik, masih ada stereotipe bahwa urusan domestik masih menjadi urusan perempuan. Para laki-laki boleh kapan saja meninggalkan meja makan, namun Kal dan kakak perempuannya tetap yang mencuci piring.
Kal menjadi tumpuan keluarga, namun kelelahannya tak pernah didengar dan divalidasi. Alih-alih, dia yang harus mengalah untuk segala hal.
“Selama ini tuh selalu gue yang ngalah.” – Kaluna
Review Home Sweet Loan
Menurutku sosok Yunita Siregar totalitas membuat karakter Kaluna menjadi perempuan tangguh, gigih, namun juga rapuh. Representasi anak perempuan yang kerap tersisihkan dalam keluarga, namun diberi beban dengan segala ekspektasi tinggi.
Ekspresinya yang jarang tersenyum setiap berada di rumah, sukses membawa penonton merasakan bagaimana capeknya dikeroyok beban hidup.
Sabrina Rochelle Kalangie selaku sutradara juga berhasil menampilkan kehidupan Kal yang biasa aja. Keseharian yang dekat dengan masyarakat kita hari ini. Bekerja, menabung, dan bermimpi memiliki rumah sendiri.
Kesederhanaan ini bisa ditangkap dari rumah keluarga Kaluna yang ngga kecil, namun didominasi perabotan jadul ala rumah peninggalan keluarga. Film ini juga cerdik membuat Kaluna tampil sederhana, kemeja dengan celana kain, no make-up, di tengah teman-temannya yang stylish.
Dua karakter ayah dan ibu kal pun menduplikasi kebanyakan orang tua negeri ini. Seorang ayah (Budi Ross) yang merasa paling bertanggung jawab dengan masalah finansial keluarga, pura-pura tenang, namun pikirannya kusut dan semrawut.
Sementara ibu Kaluna (Daisy Lantang) jadi sosok yang ngga tegaan sama anak-anak, ingin menjadi pahlawan untuk membela anak, tampak selalu mengalah supaya anaknya bisa keluar dari jerat masalah keluarganya.
Sinematografi film ini juga sangat apik. Penonton jadi lebih dekat dengan kerasnya wajah ibukota lewat pergerakan kamera serta framing yang menangkap lelahnya para pekerja ibukota. Mereka yang setiap hari harus berjibaku berangkat dan pulang kerja menggunakan transportasi umum.
Home Sweet Loan juga menyentuh masalah relevan yang banyak dihadapi masyarakat kelas menengah ke bawah, khususnya program Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat).
Program ini nampak memberi secercah harapan bagi kita, bahwa para milenial dan Gen Z juga bisa memiliki hunian impian sendiri. Mengingatkan diriku 10 tahun lalu yang berani mengambil KPR, dan alhamdulillah kini sudah lunas.
Tentu saja, semua orang bisa mewujudkan rumah mereka sendiri. Kaluna mengajarkan kita banyak hal, dan bagaimana cara agar kita tak pernah menyerah untuk bermimpi.
Wajah lelah dan murung Kaluna adalah pantulan cermin diri kita. Melihat film ini mungkin berat dan kompleks, namun tetap disajikan dengan cara sederhana yang relevan dengan siapa saja.
Home Sweet Loan tak hanya membuatku meneteskan air mata, tapi lebih dari itu aku juga merasa dipeluk dan dikuatkan. Menjadi generasi sandwich, aku tahu tak pernah mudah. Ingin berlari jauh, tapi tetap harus pulang. Bagaimanapun juga mereka adalah keluarga tempatku kembali.
Mungkin aku harus lebih bersyukur, karena akan selalu ada harapan untuk bisa bahagia.
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI
Aku ini loh udah beli tiket nonton HOme Sweet Loan akhirnya batal karena waktu itu sedang ga enak badan. Aanakku dan temannya jadi nonton, Kasihan banget Kaluna ini ya anak bungsu yang ternyata udah kayak pembantu yang serba harus membantu keuangan keluarga dan meluluhlantakkan impiannya memiliki rumah sendiri. Parah banget keluarganya tuh apalagi kakak kali2nya duh amit2 jangan sampai terjadi sama kita 🙁 Masih ada di bioskop mana nih ya film? Pengen nonton sendirian aja deh.
Keliatan film yang cukup mendidik. Cocok ini buat para gen z khususnya harus nonton ini !!!
Home Sweet Loan benar-benar solusi bagi generasi sandwich seperti saya! Prosesnya mudah, simulasi kreditnya jelas, dan pilihan rumahnya beragam. Akhirnya, impian punya rumah sendiri jadi lebih nyata.
Saya masih maju mundur buat nonton film ini. Pengen juga baca novelnya. Tapi, kayaknya bakal menguras emosi. Karena baca beberapa reviewnya, saya semakin yakin film atau novelnya memang bagus banget
Aku belum nonton filmnya, tapi filmnya sering muncul di medsos. Cuplikan videonya bikin sedih banget sih, beneran semuanya yang nanggung Kaluna ya sampai bayar token listrik aja. Seneng bgt liat senyumnya Kaluna waktu berhasil mendapatkan rumah impian. Pernah lihat obrolannya Yunita bareng Danil Mananta di youtube, katanya memang cerita di film ini relate juga sama kehidupannya. Bener-bener totalitas banget ya, keren aktingnya.
Nah iyaaa makanya. Aku jadi ngaca juga sih hahahaha. Tapi emang se-relate itu sama semua orang sih.
Mbak bisa nggak tulisannya nggak bikin orang nangis juga T.T
Aku belum nonton film-nya, tapi baca review ini aja sudah nahan tangis banget.
Hwaaaa masa sihh..
Apalagi kalau nonton langsung. Banjirrrr!!!!!
Sebagai generasi sandwich, penasaran sama film ini tapi belum kesampean nonton :’) Akhirnya bisa baca ulasan lengkap di sini. Itu bacanya agak kesel dan sedih ya, apalagi sama stereotip pekerjaan rumah yang harus dikerjain sama perempuan, laki-laki diem aja dianggap biasa.
Iyaaa, padahal masalah domestik ngga bisa dikerjakan berdasarkan gender aja. Kemampuan basic skill gini harus semua bisa sih teh..
Saya juga ngerasain banget, kadang beban keluarga bisa bikin kita nggak berani untuk bermimpi. Kaluna bisa jadi inspirasi untuk semua orang yang merasa terjebak dalam situasi yang sama.
Akhirnya tahu sinopsis film yang viral ini. Bacanya juga capek, ya, selain menjadi tumpuan keluarga secara ekonomi, pemeran utama yang notabene-nya seorang perempuan masih terjebak dalan kehidupan patriarki. Sungguh ironis.
Banyak yang memuji Home Sweet Loan ini karena selain apik dalam kemasannya juga banyak yang merasa relate dengan kehidupan sehari-hari masyarakat kita terutama gen Z yang juga menjadi sandwich generation. Sepertinya Home Sweet Loan cocok ada di antara jajaran salah satu nominasi FFI tahun ini
Baca review-nya, Home Sweet Loan ini sepertinya must watch banget. Topiknya relatable dan penuh dengan pesan penting untuk kehidupan sehari-hari. Thanks for sharing, Kak