“Sebenarnya menggunakan bahan alami untuk pembungkus makanan bukan hal baru bagi masyarakat kita..”
(Rengkuh Banyu Mahandaru)
Keresahan itu muncul ketika seorang pria muda dengan jam kerja mulai pukul 9 pagi hingga jam 5 sore, sering memesan makanan di luar. Jelas saja, pesan makan siang memang lebih mudah daripada membawa bekal dari rumah, bukan?
“Sekarang bayangkan pesan pecel ayam deh. Nasinya, ayamnya, lalapannya, sampai sambalnya dibungkus plastik masing-masing,” ujar Rengkuh Banyu Mahandaru.
Perlahan kesadaran menyeruak di tengah kesibukannya menghabiskan waktu bersama laptopnya. Kesehariannya disibukkan dengan mengerjakan desain kursi, kemasan sabun, hingga motor.
Lulusan sarjana Desain Produk di Institut Teknologi Bandung ini mendesah, jangan-jangan kebiasaan memesan makanan lewat aplikasi yang setiap hari dia lakukan, merupakan kontribusi nyata menambah sampah plastik?
Belum lagi makanan yang dikemas menggunakan styrofoam. Menurut data Bloomberg, setidaknya 600 juta kemasan styrofoam yang dipakai setiap bulan, sebanyak 47% berasal dari pemesanan aplikasi online.
“Satu waktu, saya pesan makanan yang dipesan 1, tapi yang datang 3 packaging semua styrofoam,” ujarnya saat acara Kick Off 15th SATU Indonesia Awards 2024 (Senin, 4/3/2024) lalu.
Belanja Masalah, Dari Wakatobi Hingga ke India
(sumber: https://www.instagram.com/plepah_id/)
Ternyata styrofoam ini bukan masalah kecil, yang ngga perlu diperhatikan. Kebayang kan kita beli makanan, makannya cuma sebentar tuh, tapi gimana sampahnya?
Kondisi styrofoam dan plastik di Indonesia ngga bisa dipandang sebelah mata aja. Sampah ini ngga akan bisa hancur dan terurai oleh tanah. Tahu ngga, butuh waktu 1 juta tahun buat menghancurkan sampah jenis ini.
Sayangnya, mereka mengambil short cut dengan membuang sampah-sampah ini ke laut.
“Inspirasi muncul saat saya melakukan diving di Wakatobi, dan banyak sampah styrofoam, bukan ikan. Dari sana saya tergerak untuk melihat potensi-potensi kemasan ramah lingkungan di Indonesia,” jelasnya.
Penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di 18 kota besar menunjukkan kalau 270 ribu ton hingga 590 ribu ton sampah ditemukan styrofoam yang mencemari laut di Indonesia.
Sebagai seorang product designer, Rengkuh juga sempat berkeliling ke beberapa negara, salah satunya ya ke India.
“India negaranya mirip dengan Indonesia. Yang menarik perhatian saya adalah (warga India) itu sudah menggunakan daun-daunan dalam peralatan makanan. Mau itu dimakan langsung ataupun makanan yang take away. Kita juga dulu kan membungkus makanan dengan daun-daunan,” tuturnya saat mengikuti kursus tentang alternatif kemasan ramah lingkungan di India.
Kondisi ini yang mengetuk nuraninya dan memulai riset menciptakan produk kemasan dari bahan alami yang mudah terurai alam. Seolah semesta mendengar keresahannya, Rengkuh tiba-tiba mendapatkan pekerjaan di Jambi pada 2018 lalu.
Saat itu sedang marak kebakaran hutan, terang saja kabut asap melanda separuh Pulau Sumatra. Tak tanggung-tanggung, asapnya sampai Malaysia. Rengkuh tak berpangku tangan, ia membentuk kelompok dan memberikan edukasi pada masyarakat setempat.
Berangkat dari belanja masalah yang telah ia temukan, Rengkuh akhirnya memetakan bahwa di wilayah tempat tinggalnya juga ada potensi limbah pertanian. Misalnya limbah pelepah pinang si Sumatera Selatan dan Jambi.
Bermodalkan kemampuan desain yang ia punya, datanglah ide mengolah pelepah pohon pinang menjadi pengganti kemasan makanan berbahan foam.
Inovasi Plepah: Sulap Sampah Jadi Berkah
Lahirnya Plepah, merupakan sebuah inovasi yang muncul dari seorang pemuda yang mencintai lingkungan dan negerinya. Rengkuh melakukan gerilya ke beberapa desa di Jambi, dengan mengikuti rangkaian acara keagamaan, gotong royoh hingga bertandang ke kepala desa.
(sumber: https://www.instagram.com/plepah_id/)
Tujuannya jelas, mengajak masyarakat desa untuk mengumpulkan pelepah pinang yang kerap disebut sebagai sampah komoditas.
Indonesia sebenarnya mempunyai komoditas hasil alam, misalnya buah yang dihasilkan dari buah pisang, sawit, ataupun pinang. Sayangnya, sampah pelepah ini ngga dimanfaatkan lagi.
Misalnya saja dari 1 ton tandan buah segar, cuma 20% dari bobot yang menjadi minyak goreng. Sisanya? Ya jadi limbah!
Sampah pelepah ini tentu saja bisa memiliki value di tangan seseorang yang tepat. Pada tahun 2018 juga, Rengkuh memulai proyek riset Plepah dengan bahan alami, khususnya turunan dari agrikultur pengganti kemasan makanan alternatif.
Rengkuh mengambil gebrakan dengan memulai kerja sama bersama NGO yang berfokus pada konservasi hutan.
Plepah yang berbasis komunitas tentu saja menggandeng masyarakat mengolah limbah agrikultur komoditas pohon pinang sebagai alternatif produk eco friendly food packaging dan foodware.
Plepah mulanya hanya diproduksi dalam skala kecil, namun kini sudah melesat hingga 100 ribu kontainer makanan per bulan.
Tantangan Mengembangkan Produk
(sumber: https://www.instagram.com/plepah_id/)
Bagai dua sisi mata uang, inovasi selalu hadir beriringan dengan berbagai tantangan yang tak mudah. Riset menjadi faktor utama dalam pengembangan inovasi, apalagi masalah pendanaan.
Belum lagi masalah edukasi pada stakeholder petani, karena Plepah ini adalah sesuatu yang benar-benar baru bagi masyarakat setempat. Ekosistem ekonominya belum terbangun.
“Itu juga masih menjadi tantangan tersendiri untuk kami bisa membangun rantai pasok. Jauh sebelum rantai pasok terbangun, kami juga kesulitan meyakinkan bahwa ini punya value ekonomi. Di sisi lain juga menjadi sebuah solusi terhadap masalah kemasan tidak ramah lingkungan yang begitu mengganggu di kota besar,” jelas Rengkuh saat ditanya beberapa tantangan yang sedang dihadapi.
Bisnis Berkelanjutan Ekspor Plepah
(sumber: https://www.instagram.com/plepah_id/)
Selain dampak positif untuk lingkungan, Plepah juga berkontribusi meningkatkan pendapatan dan pengumpul pelepah pinang yang menjadi sumber bahan baku bisnisnya.
Rengkuh pun mengenalkan teknologi kepada warga yang memiliki akses pada pohon pinang. Sebuah alat pengepresan yang digunakan untuk memproses pelepah pohon pinang sedemikian rupa menjadi bentuk kemasan makanan yang diinginkan.
(sumber: https://kompas.id)
Melalui sistem koperasi, rata-rata petani bisa mendapatkan tambahan penghasilan mulai dari Rp 1,5 juta hingga Rp 3 juta setiap bulan dari pelepah pohon pinang yang awalnya cuma sampah.
Kini, pengolahannya sudah melibatkan 3.176 petani (854 KK). Awalnya Rengkuh menjual produk ini ke pasar tradisional, tapi muncul kendala harga jual.
“Karena produk sustainable kalau harganya ngga oke, ya ngga sustainable juga,” paparnya.
Rengkuh punya prinsip yang kuat, ketika menerapkan green economy, cash flow atau alur keuangannya juga harus hijau (sehat).
Sekarang rata-rata mereka memproduksi 2.000 – 5.000 kemasan per pekan. Bahkan dalam satu gelombang produksi, bisa 10 – 12 ton pelepah pinang dari petani. Rata-rata harga jual produk kemasan ramah lingkungan Plepah ini dibanderol Rp 2.000 per biji.
Plepah pun bisa meraup omzet hingga Rp 300 juta untuk penjualan dalam negeri.
Tak berhenti sampai di sini, Rengkuh juga punya impian ekspansi ke luar negeri. Jepang dan Australia menyambut hangat dengan menerima harga ekspor cukup tinggi. Sekitar Rp 3.500 – Rp 5.000 per biji.
“Perhatian masyarakat luar negeri terhadap isu lingkungan, khususnya sampah memang sangat besar. Sehingga ketika ada produk kemasan yang ramah lingkungan dan ngga menghasilkan sampah, peminatnya jadi tinggi,” tuturnya.
Banyak persiapan yang dilakukan Rengkuh dalam upaya menyambut antusiasme permintaan bersama distributor Jerman dan beberapa negara di Eropa.
“Kerja samanya beberapa berbentuk investasi, ada juga yang kerja sama usaha. Jadi mereka meminta produk kami diekspor ke negara-negara tersebut yaitu: Kanada, Jerman, Swedia, dan Belanda. Rata-rata permintaannya satu kontainer sekitar 200.000 produk,” jelas Rengkuh.
Konsistensi Rengkuh dalam kurun 6 tahun belakangan membuat usahanya dilirik oleh perusahaan peduli lingkungan.
Plepah Meraih SATU Indonesia Awards dari Astra
(sumber: https://swa.co.id/)
Lagi-lagi Plepah punya gebrakan baru dengan risetnya mengenai optimalisasi agrikultur yakni biomassa sebagai alternatif batu bara. Sebuah alternatif energi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Satunya mungkin yang sedang kami kembangkan di sektor renewable energy,” ungkapnya.
Pada April 2023 lalu, Plepah berhasil mengikuti pameran teknologi industri tingkat dunia Hannover Messe 2023 di Jerman mewakili Indonesia. Plepah menjadi perwakilan start up yang mempresentasikan inovasi serta potensi investasi yang ramah lingkungan.
Rengkuh juga sangat bersyukur pada 2023 lalu menjadi salah satu pemenang SATU Indonesian Awards untuk kategori lingkungan.
“Lewat penghargaan ini, saya merasa mendapat pengakuan atas inovasi yang memilii dampak kelestarian lingkungan,” tuturnya.
Rengkuh mengakui, melalui ajang SATU Indonesia Awards, nama Plepah makin dikenal. Harapan ke depannya agar Plepah bisa terus berkembang dan menyadarkan generasi muda untuk mempertimbangkan membeli produk yang sesuai prinsip kelestarian lingkungan.
Semoga Plepah bisa terus berinovasi mewujudkan keberlanjutan dari segi lingkungan, ekonomi, dan sosial dengan potensinya yang luar biasa besar.
“A little step by you can make a huge difference for the planet. Choose Plépah 100% compostable tableware that turns into fertilizers for the soil.”
Referensi:
https://www.instagram.com/plepah_id/
https://swa.co.id/read/406666/cerita-rengkuh-bangun-startup-plepah-berawal-dari-keresahan
https://www.tempo.co/ekonomi/profil-rengkuh-banyu-mahandaru-inisiator-plepah-kenalkan-produk-kemasan-dari-pelepah-pinang-25137
https://entrepreneur.bisnis.com/read/20241002/263/1804437/sulap-sampah-jadi-berkah-hingga-ekspor-plepah-ke-jepang-dan-australia