Jejak Kaki Mungil Ghaitsa, Perjalanan Menuju Operasi (Bagian 1)

jejak kaki mungil ghaitsa

“Kok kakinya ngga sama ya besarnya, Bu..”

Deg!

Dokter spesialis anak memberitahuku tentang ‘kelainan’ bentuk kaki putri kecilku, beberapa saat setelah melahirkan. Aku belum bisa mencerna kata-kata beliau karena masih tersisa obat bius pasca operasi.

Teringat beberapa tahun silam saat melahirkan masnya, bujangku yang pertama. Kondisi kaki yang sama. Punggung kaki lebih besar, seperti bengkak.

Tapi aku tak bisa menyembunyikan rasa menggiggil setelah operasi. Saat IMD aku memeluknya, dengan sepenuhnya rasa cinta yang tak bisa kuungkapkan. Seorang ibu tak pernah membagi cintanya saat ada anggota baru datang dari surga. Seorang ibu selalu menambah cintanya untuk semua anak-anaknya.

Dan seorang anak perempuan yang telah aku nantikan, akhirnya datang. Mahabaik Allah yang memberiku kesempatan menjadi ibunya, bidadari surga yang kami rindukan.

***

kaki kanan bengkak lebih besar

Ghazi juga mengalami kelainan bawaan seperti Ica. Kami bahkan sudah dirujuk untuk melakukan MRI. Tapi setelah ikhtiar ke sana kamari, alhamdulillah sekarang kakinya sudah berukuran normal.

Aku pun optimis kalau Ica juga akan segera sembuh, segera kempes.

Aku juga berusaha pengobatan non medis dengan pijat alternatif. Mulai dari prana, dan berbagai macam jenis pijat yang insya Allah bukan abal-abal pun sudah kami datangi.

Pernah antri dari jam 2 siang dan baru diterapi jam 12 malam. Itu aja cuma 15 menit lho terapinya. Dan kami sampai rumah sekitar jam 2 pagi!

Apa sih yang ngga dilakukan orang tua buat anaknya? Segala opsi A, atau B, atau sampai Z pun kalau memang bisa membawa perubahan dan kesembuhan juga akan disamperin, ygy?

Kembali Pengobatan Medis Setelah 2 Tahun

Dulu banget Ica pernah dirujuk untuk MRI. Tahu kan gimana prosedur MRI untuk anak-anak. Karena harus discreen untuk sekitar 45 menit dalam sebuah tabung, anak-anak akan dibius total. Yah biar mereka ngga gerak mulu. Karena gerak sedikit bisa fatal hasilnya dan harus ngulang.

Aku ngga tega lah, umurnya masih 2 tahun saat itu. Aku ngebayangin harus panjang prosedurnya. Saat itu aku ke Persada Hospital menemui dokter Lulik. Beliau salah satu dari 2 spesialis bedah anak paling senior di Malang.

Beliau menyarankan untuk MRI, tapi saat itu di Persada belum ada MRI-nya dan mau ngga mau harus ke RSSA (Rumah Sakit Syaiful Anwar) seperti RSUD gitu.

Aku ngebayangin gimana riweuhnya di sana. Pasti Panjang banget prosedurnya dan selalu ribet! Dan ngebayangin gimana MRI-nya tuh udah buatku mundur. Jadi aku mencoba pijat alternatif lagi di salah satu kenalan ibu.

Setelah rutin ke sana alhamdulillah ada progress yang bagus. Tapi harus ke sana rutin seminggu sekali, biar urat dan syaraf yang udah dibenerin ngga balik lagi ke mode awal gitu.

Kemudian datanglah pandemi!

Mau ngga mau kami harus berhenti total, karena ada kebijakan di rumah saja. dan akhirnya ambyar sudah, kaki-nya hamper balik gede lagi.

Setelah ngobrol panjang, akhirnya aku dan suamiku balik ke dr.Lulik dengan jalur medis.

Dirujuk Kembali untuk MRI

“oh, ini bawaan lahir?” kata dr.Lulik

“ya dok,” jawabku. Aku sendirian karena Mr. K sedang on duty.

“Lho, kenapa baru dibawa ke sini? Sebelumnya periksa di mana?”

Suster mengecek riwayat pemeriksaan dan sebelum aku menjawab beliau sudah menimpali, “sebelumnya udah pernah periksa di sini don, tahun 2021″

Dokter Lulik mengecek sambal mengernyitkan dahi. “ini sudah pernah saya rujuk untuk MRI. Mana hasilnya ya?”

“Belum MRI, dok.”

“Terus sekarang Ibu mau apa?”

Deg!

Dr.Lulik ini tipe dokter yang ngga berbasa-basi. Ngomongnya langsung tegas, ngga tedeng aleng-aleng, seperlunya dan agak tajam.

“Dulu saya rujuk MRI, ngga mau. Sekarang mau minta apa? Saya ngga bisa melihat penyebabnya kalau tidak ada gambar dalamnya.”

“Iya dok, dulu di sini belum ada MRI-nya. Sekarang sudah ada. Jadi sekarang saya sudah siap MRI juga. Dulu belum tega dok, mohon maaf” jawabku sedikit tegang juga.

“Bu, di sini tidak lengkap ya. Saya mau merujuk untuk MRI di RSSA yang lebih lengkap. Di sana bisa terlihat sampai 7 lapis. Di sini hanya 3 lapis saja.

Anak ini masih kecil, Bu. Dia tidak bisa mengambil keputusan mana yang terbaik untuk dirinya. Sebagai orang tua, Anda harus bijak. Jangan sampai salah mengambil Langkah atau keputusan. Hal seperti ini sangat vital, dan tidak boleh terlambat penanganan. Anda sudah menunda selama 2 tahun. Yang seharusnya bisa diatasi lebih cepat.”

Beliau memandangku tegas. Hatiku rasanya mencelos, air mataku hampir tumpah. Aku menengok ke gadis kecilku yang duduk di ranjang pasien sambal memegang bukunya. Tatapannya yang tak berdosa membalasku dengan senyuman.

Aku berusaha sekuat tenaga menahan genangan di pelupuk mataku. Hanya terdiam dan terpaku.

“Di sana pakai BPJS ya, Bu. Punya kan? Nanti ketemu saya lagi kalau sudah ada hasil MRI-nya. Sekarang tunggu di luar dulu.”

Saat emosiku belum stabil, Mr. K menelpon. Aku tak bisa bersuara, akhirnya genangan itu tumpah. Aku ngga bisa ngomong apa-apa hanya menjawab suaranya dengan sesenggukan dan tangisan.

Aku butuh dia di sampingku saat ini.

Aku merasa menjadi orang tua paling bodoh dan egois selama ini. Entah berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam kepalaku. Banyak ketakutan dan penyesalan. Rasa bersalah pada makhluk manis tak berdosa ini, karena kecerobohan ‘pilihan’ orang tuanya.

By thekurniawans

The Kurniawans adalah sebuah catatan keluarga, jelajahi kisah pengasuhan, perjalanan, dan semua cerita menyenangkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *