Siang yang cerah, awan tak menampakkan mendungnya. Sebentar lagi sampai kalau sudah mulai kelihatan balai desa Pagerngumbuk, yang artinya sekitar 5 sampai 10 menit lagi akan tiba di Kampung Lali Gadget.
Dari jauh sudah tampak wajah-wajah mungil riang yang sibuk dengan beragam kegiatan. Tak kelihatan satu anak pun yang menunduk sambil memegang gadget.
Tak ada satupun.
Andira terlihat antusias dari mimik wajahnya. Jari mungilnya dihiasi kuku berwarna merah yang mulai mengelupas kuteksnya, sibuk menusuk dan merangkai mahkota dari daun. Terlihat mudah, tapi kadang dia merutuki dirinya saat daunnya retak akibat tusukannya sendiri. Masih penasaran, Andira mencoba terus sampai membentuk lingkaran mahkota.
Angelita Naila Sidqiyah (7) dan Muhammad Iqbal Kurniawan (9) juga mulai tak sabar menunggu instruksi. Keduanya mulai menoleh ke sana ke mari memastikan tak ketinggalan info permainan apa saja yang akan diselenggarakan kali ini.
Keduanya memang bocah asli Pangerngumbuk, pun siap dengan berbagai permainan dalam kompetisi dolanan tradisional Nusantara pada ajang Elingpiade yang diselenggarakan Kampung Lali Gagdget.
Naila dan Iqbal akhirnya tahu kalau mereka harus membuat mahkota dari daun juga. Rupa-rupanya, dengan mengenakan mahkota yang terbuat dari daun, mereka akan beradu kecepatan dengan tim lainnya.
Adrenalin turut berpacu, ketangkasan turut diadu.
Tampak jelas sumringah membumbung dari wajah bocah-bocah itu. Akhirnya mereka berhasil memenangkan kompetisi dolanan tradisional siang itu.
Asal Mula Munculnya Kampung Lali Gadget
Aku jadi flash back akan banyaknya berita di media sosial tentang anak-anak yang kecanduan gadget. Anak-anak yang tantrum kalau HP mereka diambil. Anak-anak yang diam-diam nonton bokep di luar rumah. Anak-anak yang nge-game ngga kenal waktu.
Coba deh bayangkan, gimana kalau ke depannya anak-anak generasi penerus bangsa ini akan terus melupakan budaya sopan santun, dan akhlak.
Bagai dua sisi mata pisau, teknologi yang semakin maju tak hanya memberi dampak positif tapi juga bisa mencederai kalau tak bijak.
Anak-anak boleh saja mengenal teknologi, tentu saja gadget adalah bagian penting dalam lini kehidupan di tengah badai pandemi.
Pandemi membawa kita semua menuju bilik digital dengan adaptasi yang begitu cepat tanpa terkendali. Pembatasan agar di rumah saja jelas membuat anak-anak harus sekolah daring. Semua tugas daring dan dijalankan lewat perangkat bernama internet. Semua bisa diakses lewat gadget.
Tapi bisa saja sebagai orang tua kita lalai.
Ada celah-celah yang mungkin membuat kita lengah. Setiap hari melihat contoh kurang baik tanpa pengawasan. Bebas memainkan permainan digital tanpa pengawasan karena kesibukan orang tua yang tanpa jeda.
Oke, aku pernah membahas kalau saat ini gim daring mempunyai nilai positif untuk yang bermimpi menjadi pro player. Siapa saja boleh menjadi atlet e-Sport, pun anak-anak kita. Ekspansi gim daring saat ini telah menjadi cabor di pagelaran olahraga universal.
Namun pertanyaannya, apakah semua bisa?
Siapa yang akan bertanggung jawab mengontrol dampak negatifnya di tingkat bawah?
“Kalau semua orang berlomba-lomba dalam kemajuan teknologi, lalu siapa yang memikirkan dampak negatif dari perkembangan teknologi itu?” ungkap Achmad Irfandi.
Dari sini lah, Achmad Irfandi yang akrab disapa Mas Irfandi, mulai memikirkan sebuah solusi. Sosok yang begitu bersahaja dan mencintai anak-anak. Gesturnya yang ramah memang membuatnya dicintai anak-anak.
Anak-anak seperti mendapat pelukan hangat, yang bisa memenuhi relung jiwa mereka dengan kebebasan. Fitrah anak-anak adalah merdeka. Tak perlu nilai setinggi langit dari bangku sekolah. Sejatinya belajar bisa di mana saja.
Mas Irfandi menceritakan, kala itu bulan April atau Mei 2018 mulai menggagas aksi ini. Yang mendasari membentuk wadah ini karena munculnya kegelisahan kita tentang punahnya beberapa permainan tradisional yang sudah tidak dimainkan lagi.
Anak-anak sekarang lebih suka main gadget. Sebenarnya kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan anak-anak. Karena mereka tidak tahu. Tak ada yang mengenalkan dan tak ada yang mengajak.
Jadi ini kesalahan kita bersama, satu keresahan yang harus kita sikapi sama-sama untuk kita bangkitkan lagi permainan tradisional ini. Begitu kata Mas Irfandi.
Berlatar dari sini, Irfandi mulai mendirikan Yayasan Kampung Lali Gadget yang lokasinya di Dusun Bendet 02/03 Desa Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo.
“Tugas kita hari ini hanya bersenang-senang..! oke?” teriaknya lantang menghadap anak-anak yang juga tampak berbinar.
“Memang tujuan utama itu kepada anak-anak..” lanjutnya bertutur. Paling utama yang kita capai sebenarnya adalah anak-anak ini. Kepada mereka lah kita mewariskan, pada jiwa-jiwa yang masih suci. Belum banyak terkontaminasi banyak hal.
Aktivitas yang digelar di program ini mengajarkan edukasi budaya, kearifan lokal, olahraga, edukasi satwa,serta permainan tradisional.
Paparan teknologi, HP, dan internet memang sangat luar biasa. Jadi langkah Kampung Lali Gadget memang sebuah program pengentasan untuk digital detox.
Orang Tua Juga Melawan Kecanduan Gadget
Siti Harnanik juga mengungkapkan anaknya yang tidak mau sekolah. Setelah satu minggu dia mogok sekolah.
Netranya menunjukkan kesedihan saat mengungkapkan kalau buah hatinya dari pagi sampai mau tidur lagi hanya HP yang dipegang.
Orang tua mana yang tak merasa gagal menjadi orang tua?
Bu Siti merasakan anaknya jadi mudah marah, sekolah jadi malas sampai tiga tahun enggan bersekolah.
Dari segi pendidik, Faizah sebagai guru juga turut ungkap keresahannya.
“Paling tidak, anak bisa mengurangi main gadget,” katanya berharap. Apalagi sekarang pembelajaran jarak jauh ya yang digunakan sebagai alat belajar adalah gadget atau laptop.
“Harapan saya permainan tradisional bisa menjadi ajang bermain yang membantu mengurangi pemakaian gadget”, begitu ungkapnya.
Apa Yang Menjadi Kendala?
Kampung Lali Gadget dalam Apresiasi Satu Indonesia Award ke 12 tahun 2021 Astra, Mas Irfandi menyebutkan kendala yang beliau rasakan.
“Kendalanya sama sampai sekarang yang belum bisa terselesaikan. Sumber daya manusia. Artinya saya tidak bisa bergerak sendiri.”
Menurut beliau, memang harus ada teman-teman penyerta yang bisa membantu. Semua masyarakat bergerak. Mulai dari teman-teman komunitas, bukan hanya pemuda lokal karang taruna saja.
Dinda Septiana salah satu Relawan Kampung Lali Gadget mengungkapkan alasannya mau bergabung di KLG. Alasannya memang dia suka anak-anak. Dunia anak-anak memang harus bermain.
Di Kampung Lali Gadget dia berharap semua bisa bermain bersama, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Tanpa melupakan sejarah. Atau permainan tradisional.
Seorang pemuda juga tampak mengajari anak-anak bermain egrang, kemudian berkata,
“Kalau sudah naik gini, ini didorong ke depan gini lho..”
Memang bermain egrang tak ada tutorial tertulis. Praktek, praktek, dan praktek!
Permainan tradisional itu sebenarnya banyak, tapi anak-anak belum kenal. Rachma Zulfata sebagai salah seorang relawan KLG juga mengungkapkan kalau era milenial banyak permainan gadget. Di mana sekolah sudah jarang mengenalkan permainan tradisional.
Konsep Pendidikan Belajar yang Merdeka
Di sisi lain anak-anak yang bermain egrang dan mahkota daun, nampak sekumpulan anak yang bersemangat mandi lumpur di arena permainan lumpur sawah.
Tak ada orang tua yang berteriak untuk menghentikan mereka. Tak ada orang tua yang melarang mandi lumpur karena takut anaknya akan pulang berkotor ria.
Anak-anak berlari menembus angin, mengepakkan tangan mereka dengan lantang seolah berteriak pada dunia kalau mereka bisa bebas dan terbang.
Bermain sesuka hati seperti ini membuat dada membuncah dengan gelak tawa saat ada salah seorang anak terpeleset dan badannya dipenuhi lumpur.
Sederhana, tapi membahagiakan, bukan?
“Konsep pendidikan yang mendasar itu kan, belajar yang merdeka..” ungkap Mas Irfandi.
Tidak terkotak pada hafalan-hafalan seperti pada sekolah sekarang. Harus hafalan rumus. Tapi belajar itu bisa diawali dengan bermain. Konsep di Kampung Lali Gadget ini adalah bermain dengan memasukkan unsur konsep belajar. Begitu lanjut beliau menuturkan.
Seperti main lompat tali, egrang, ketapel, cublak-cublak suweng, sampai bikin mainan sendiri dari pelepah pisang.
Banyak hal yang bisa kita pelajari ngga cuma dari duduk di bangku sekolah saja.
“Jadi kita ingin melawan kecanduan gadget dengan cara mengenalkan anak-anak pada permainan tradisional. Karena permainan tradisional ini bentuk budaya tapi tidak diwariskan..”
Mas Irfandi bilang kalau ada semacam garis putus. Harusnya menjadi kewajiban orang tua, karena anak muda yang dulu pernah main harusnya ya mengenalkan pada generasi sekarang. Agar terjadi proses waris dan anak-anak juga bisa mengetahuinya.
“Karena kita konsepnya bermain dengan alam, bermain dengan bahan bekas, air, rumput, batu semua mainan bagi anak-anak.”
Kembangkan Potensi Wonoayu
Tak hanya menggagas terwujudnya Kampung Lali Gadget, Mas Irfandi juga berjuang mengembangkan potensi yang ada di Sidoarjo khususnya daerah Wonoayu.
Desa Wonoayu punya nilai historis hingga hidden gem yang jarang diketahui orang. Seperti Candi Dermo Wonoayu, hingga keberadaan Pabrik Gula Popoh Wonoayu.
“Banyak potensi wisata yang bisa ditumbuhkan dari sini. Ada potensi UMKM seperti salah satu pengrajin gitar yang punya pasar musisi-musisi luar negeri. Ada juga pengrajin Udeng Pacul Gowang asli Sidoarjo. Banyak potensi yang bisa kita gali dari sini.”
Potensi pertanian daerah Wonoayu sangatlah bagus. Sayangnya pertanian di sini mulai lesu karena anak muda enggan menjadi petani.
Nah, Mas Irfandi mulai mengajak anak-anak ke saah, melihat kegiatan para Pak Tani. Mereka akan mendapatkan banyak hal baru.
Beliau berharap agar masyarakat tak meninggalkan budaya dan terus melestarikannya untuk memajukan bangsa ini sendiri.
Peraih SATU Indonesia Astra Awards
PT Astra Internasional Tbk. Memberikan apresiasi kepada generasi muda Indonesia yang berprestasi dan memberikan kontribusi pada masyarakat. Yaitu melalui Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards.
Ki Hajar Dewantara pernah berkata,
“Jadikan setiap tempat sebagai sekolah, jadikan setiap orang sebagai guru.”
Sepenggal kalimat tersebut layak disematkan pada sosok Penerima Apresiasi 12th SATU Indonesia Awards 2021 Bidang Pendidikan, Achmad Irfandi.
Akhir perbincangan kami, aku menanyakan sesuatu yang mengganjal hatiku sendiri. Aku ingin membuat Kampung Lali Gadget di lingkunganku sendiri, Malang. Setidaknya mulai dari daerah tempat tinggalku.
“Menurut Mas Irfan, misalnya saya ingin bikin KLG di Malang, apa saja yang perlu saya persiapkan? Ada tips ngga bagaiamana membangun mimpi ini dari nol? Mungkin tidak mudah dan butuh proses. Tapi saya mungkin bisa memulai dari lingkungan rumah dulu. Ada saran?” tanyaku.
Beliau pun menjawab,
“Memulai itu pastikan ada satu individu yang rela berkorban banyak hehehhe. Yang serius dan siap konsisten. Kuncinya sebuah pergerakan adalah adanya penggerak.”
Benar sekali. Harus ada yang memulai. Namun kita tidak bisa bekerja sendiri. Butuh bantuan dari berbagai pihak yang punya keinginan yang sama agar cepat terwujud.
Pada akhirnya, kita butuh pemuda-pemuda seperti Mas Irfandi yang mau rela berkorban banyak sebagai penggerak. Jangan sampai budaya ini tergerus. Kita boleh berdiri, melesat dengan kemajuan teknologi. Tapi budaya jangan ditinggalkan. Karena budaya juga harus ikut bersama kemajuan.
Ayo mbak Lintang, jadilah penggerak untuk mewujudkan replika kampung lali gadget di Malang. Bener sih, memang harus ada yang “berkorban” di awalnya, jadi motor penggerak dengan aksi nyata.
Salut untuk Irfandi dan juga para relawan di kampung lali gadget. Inilah wujud merdeka belajar sesungguhnya, sudah ada sebelum diluncurkan oleh pemerintah dengan kurikulum merdekanya
Nah iyaa kepingin banget ya mbaa.. tapi emang mengawalinya butuh effort. Tapi kalau ngga dari kita ya siapa lagi?
Wah, mantap nih kegiatan anak-anak di Kampung Lali Gadget 🙂 Idealnya kayak gini ya keseharian anak dalam kehidupannya. Setidaknya penggunaan dagdet dapat diminimalisasi 😀 Belajar sambil bermain, tentu akan lebih baik dipadukan dengan kurikulum merdeka. Mas Infandi ini sangat menginspirasi kita semua. Menghargai petani itu harus dong 😀
Bener banget deh, cocok kalau dipadukan dengan kurikulum merdeka ya mba..
Kampung lali gadget ini ide yang luar biasa ya, bisa membuat anak-anak senang bermain permainan tradisional lagi. Dibandingkan gadget yang hanya menggunakan mata dan jari, dengan permainan tradisional semua panca indera anak aktif. Jadi kangen masa kecil saat masih bebas main benteng ya, dan juga asyik bermain di luar rumah.
Seru banget ya ini kampungnya. Anak-anak bisa happy dan bebas berlarian juga bermain macam-macam permainan tradisional. MasyaAllah, semoga berkah terus untuk mas Infandi yang udah punya ide bikin kampung lali gadget ini 😀
Heboooh ya main di kampung lali gadget
anak-anak mudah dialihkan dari gadget asalkan diberi tantangan kegiatan seperti ini. Apalagi permainan tradisional itu membuat anak-anak banyak bergerak, berpikir kreatif juga.
kadang suka kangen ya kita dengan permainan kita zaman dulu yang benar-benar main kayak gobak sodor, congklak, engklek dan sebagainya. memang perlu ada orang yang giat untuk terus melestarikan permainan tersebut biar nggak hilang digantikan gadget
Sayang emang ya mba kalau potensi pertanian bagus tapi masih banyak anak muda yang enggan menjadi petani. Tapi kayaknya jadi dilema bersama di beberapa daerah, mba
Aku saluut banget deh sama Mas Irfandi. Dan KLG emang layak diganjar award dr Astra.
Btw, saya percaya mas Irfandi akan lebih bahagia ketika para orangtua jg bisa menjadi inisiator lali gadget di rumah masing2.
Duuuh, menulis ini sembari diriku dan dua anakku pegang gadget masing2 😀 :D. Aku BW mereka gaming…irony ga sih hihihu.
Tapi lali kan bukan berarti bener2 lali pastinya ya…melainkan bisa mengontrol, ga sampai kebabblasan.
Aku juga gitu mbaa, yah gimana jaman sekarang emang anak2 generasi alpha juga jadi lebih mudah mendapatkan apa aja lewat gadget.
Emang harus dimulai walau awalnya berat. Mengenalkan permainan tradisional emang salah satu solusinya.
Lali gadget untuk bergerak dan berpikir kreatif, belajar dengan cara bermain yang bebas merdeka. Sebuah gerakan yang bagus sekali. Namun semoga ga ada yang salah mengartikan bahwa lali ga harus selamanya, karena kemajuan teknologi tak bisa ditolak, ia melesat bersama waktu yang terus maju. Justru kita ikut bersama kemajuan, agar tidak ketinggalan. Selama berada pada periode belum mampu mengendalikan diri, lali saja, tapi sementara. Saat sudah bisa mengontrol segalanya, gengam dan gunakan untuk melesat lebih tinggi di dunia yang segalanya tak pernah bisa dijeda.
Jadikan setiap tempat sebagai sekolah. Jadikan setiap orang sebagai guru.
Setuju banget dengan ucapan Irfandi, anak muda yang menjadi inisiator Kampung Lali Gadget. Anak-anak jadi seneng ya diajak bermain di KLG, lupa deh dengan main game nya
Jadi penggerak kaya di Kampung Lali Gadget tuh emang gak bisa dilakukan sendiri. Kudu ada bantuan dari banyak orang, orang tua juga. Semoga dengan ini permainan tradisional juga makin lestari ya
dialihkannya dengan main permainan tradisional yang juga gak kalah seru dari main gadget ya
anakku udah kaya kecanduan gitu emang harus pelan2 ya, apa harus ke sana ya/. hiks gakau
Pengeen bisa mampir ke kampung lali gadget…aku sukaa ajak anak anak.ke tempat wisata edukatif.
Mesti diagendakan nih…
Keren Mas Irfandi ini dedikasinya untuk anak-anak biar nggak kecanduan gadget luar biasa. Memang buat jadi penggerak harus bener-bener passionate sama hal ini ya mbak. Seneng deh lihat wajah-wajah ceria mereka main permainan tradisional. Seketika merasa bersyukur karena masa kecilku dulu belum ada gadget.
Happy banget nih ajak anak liburan ke kampung Lali Gadget. Banyak permainan yang seru dan ini bisa buat anak lali gadget ya. Anakku tuh perlu kesini deh
Baru tau kalau di Sidoarjo ada daerah namanya Wonoayu, area mana tuh ya? Kyknya jauh ya dari Waru gtu?
Bagus nih konsepnya kampung Lali Gadget. Anak2 jadi mengenal permainan tradisional dan gak kecanduan gadget ya? Selain itu ortunya jg kudu mengurangi aktivitas gadgetnya kalau depan anak supaya anak jg gak niru sih ya.
Masih jadi PR juga nih buat orang tua ya, biar semakin meningkatkan bonding sama anak dengan ngga main gadget.
Lali gadget atau Lupakan Gadget pada anak2. Yup,kita para orang tua termasuk aku,memang jarang ngenalin anak pada permainan tradisional jaman kita dahulu…masa sekarang emg uda datang ombak jaman teknologi ya..jaman kita dahulu mah mana ada hengpon. Seru inii pasti anak2 kalau main kesana,ga sabar pgn visit dan coba keseruannya tar :). Thx sharingnyaa mbaa
jadi inget jaman dulu kalau mau nonton TV serial anak-anak nunggu jam 8 pagi di hari Minggu. Jadi hari Minggu emang selalu ditunggu-tunggu sih. Sekarang mau pagi siang malam bisa YT-an kalau ngga ada pengawasan. Emang teknologi bagai dua sisi mata uang sih.
Sungguh terharu aku melihat permainan tradisional lagi setelah sekian lama hidupku selalu bersentuhan dengan gadget. Aku teringat betapa bahagianya masa kecilku yang tanpa gadget itu. Kampung Lali Gadget adalah inisiatif yang luar biasa, sebagai sarana anak-anak bermain dengan merdeka. Semoga Mbak Lintang bisa mewujudkan mimpinya membuat KLG di kota Malang, ya. Kudoakan dari sini.
Aamiiinnn mbaaa, makasih ya doanya. Semogaaaaaa yahhh. Duh impian banget!
Aku kesini mbak.
Ajak anak anak main di kampung lalu gagdet ini
Seru
Anak-anak bsia merasakan beragam permainan tradisional
Wah iya kan deket rumah mba Dian yah. Duh pengen juga rasanya.
Seru juga ini ya idenya menarik sekali apalagi daerah digital ini memang membantu sekali orang tua untuk mendisiplinkan anak bermain gadget
Nama kampungnya unik banget Kampung Lali Gadget, bener-bener ya anak bisa detoks gadget di sini. Meskipun gadget itu bermanfaat tapi ada baiknya anak juga membatasi penggunaannya. Mengenalkan teknologi lewat gadget penting supaya mereka ga gaptek, tapi jabgan sampai jadi kecanduan. Anak jaman sekarang jarang yg mengenal permainan tradisional, bagus juga nih program di Kampung lalu Gadget ini
Aaaah! Cakeeeppp!
Ada kampung lali gadget yang populer dengan konsep NO DIGITAL – NO GADGET dan anak diajak bermain .. oolalalaaa jadi inget impianku dulu – berkonsep seperti itu
Seru banget ya kayanya, aku jadi pengen kesini. Secara, anakku udah mulai kenal berbagai macem game online :’) butuh aktivitas lain yang menyita perhatiannya, tapi aku kerja huhu. Jadi kalau bisa bareng-bareng kesini, pasti seru!