Para Superheroes Penunggu Rumah Sakit

Para Superheroes Penunggu Rumah Sakit

“Halo Mbak, mama kesurupan. Samean iso mrene saiki?” kata adikku di ujung telepon.

Aku terdiam sejenak, sepertinya jantungku hampir loncat dari tempatnya. Saking mendadak berdebar sangat kencang. Masih pukul 4 pagi. Aku selalu cemas bila ada dering telepon dini hari. Pikiranku macam-macam, aku selalu takut mendapat berita duka yang terlalu tiba-tiba.

Tapi aku ngga pernah kepikiran, kalau bakal ada telepon masuk dengan kabar mamaku ‘kesurupan’.

“Hah! Sing genah lee.. terus mama saiki piye?” tanyaku tergesa-gesa.

“Tangane munggah-munggah, Mbak. Munggah dewe. Wes Mbak, cepetan,” jawabnya cepat. Secepat sambungan yang terputus seketika.

Aku masih ngga bisa berpikir, apakah harus segera ke sana sepagi ini? Suamiku ngga di rumah, anak-anakku sendirian. Aku ngga bisa mengajak anak-anak, takut ‘hantunya nemplok anak-anak’. Haduh lebay ya! Tapi gimana, emang ngga bisa mikir.

Akhirnya aku membangunkan sulungku yang masih kelas 3 SD, untuk berpamitan mau ke rumah uti. Aku bilang, uti sakit. Aku berpesan agar dia menjaga adik-adik sampai nanti aku pulang. Meskipun aku ngga bisa memastikan akan pulang jam berapa.

Selama di perjalanan, pikiranku udah macam-macam. Aku udah mikir mama lagi berbaring di kasur dan badannya terangkat seperti di film horor. Sebenarnya aku mau ke sana juga takut banget aslinya. Tapi gimana lagi?

Takut mama kenapa-napa, atau diguna-guna. Tapi sama siapa? Banyak banget pertanyaan berkelebat ke sana ke mari.

Sampai di rumah, ternyata mama sedang salat tahajjud dan duduk di sofa.

Papa memegangi tangan mama yang sepertinya kembali kumat. Sambil komat kamit membaca ayat kursi. Adikku memegangi tangan mama. Sumpah, ini tegang banget.

Tanganku dingin dan basah. Aku mendadak bingung harus bantu apa.

Harus ke Ustadz atau ke Rumah Sakit?

Kemudian gerakan naik turun di tangan dan kaki mama mereda. Namun ulu hati mama berasa nyeri, katanya. Haduh, ini beneran kesurupan kah? Kok sampai panas dari dalam badannya juga sih.

“Gimana pah, kita panggil pak ustadz pah? Apa orang pintar?” tanya adikku.

Papaku kayanya juga blank, “ustadz siapa subuh gini? Tenang dulu”

Orang pintar maksud adikku tuh kayanya Abah Ali, yang bisa menangani kondisi non medis kaya gini. Beliau biasanya buka pijat syaraf, tapi juga bisa menangani pasiennya yang kerasukan. Tapi rumahnya jauh, dan mama udah kesakitan banget.

Jam 5 pagi, mama kumat lagi. Badannya bergetar hebat. Kakinya ngangkat sendiri, lagi. Tangannya juga gerak sendiri. Tapi kok bagian kiri aja ya. Kayanya ini mah bukan kesurupan. Soalnya mama sadar dengan sepenuhnya sadar. Kalau orang kesurupan kan biasanya hantunya yang ambil alih kesadaran. Heuheuuu.

Kami coba berpikir logis aja deh. Kayanya ini tremor hebat, maksudnya penyakit medis deh.

“Udah kita ke rumah sakit aja, langsung IGD” kataku seketika. Masalahnya mama ngga bisa jalan, boro-boro jalan, berdiri aja ngga bisa.

Papa lagi tegang banget megangin kakinya mama, tetep sambil baca doa ini itu. Mama teriak dan bilang kalau gerakannya ngga bisa beliau kendalikan. Beberapa menit kemudian tremornya hilang lagi.

Kami sepakat langsung membawa beliau ke IGD RSU agar dapat penanganan secepat mungkin.

Rawat Inap di Stroke Unit

Rawat Inap di Stroke Unit

Minggu pagi yang cerah, tapi mendung menggantung di wajah kami semua. Sampai di IGD, mama langsung ditanyai berbagai macam pertanyaan. Alhamdulillah dapet penanganan yang cepat. Kemudian mama dipasang infus dan kabel ini itu, entah buat memantau apa saja. Ternyata tekanan darah mama saat itu hampir 200!

Apakah ini gejala stroke?

Sambil menunggu diperiksa, adikku yang cewek juga udah datang. Dia juga udah sesenggukan di sebelah mama. Bikin aku jadi ikutan nyesek, menahan genangan air mata yang juga akan tumpah.

Setelah menunggu hasil CT-Scan, dokternya bilang kalau ada pendarahan di kepala. Bisa jadi karena tekanan darah yang terlalu tinggi.

Deg!

Apakah harus di operasi?

Belum ada jawaban, yang jelas mama harus masuk ruangan intensif buat memantau kondisi beliau. Namanya stroke unit. Kami baru bisa masuk ruangan ini sekitar pukul 4 sore.

Masalahnya adalah ruangan ini ngga boleh ada pendamping pasien. Jadi memang pasien harus ditinggal, dan boleh dijenguk hanya jam makan. Memang antar bangsal ngga disediakan kursi. Padahal mama tuh tipe orang yang ngga bisa ditinggal sendirian.

Mama ngga boleh mengangkat kepala sama sekali. Semua aktivitas dilakukan di atas bed. Tapi syukurlah mama dipindah ke ruangan yang lebih intensif, yang ada kursi panjang ukuran sedang. Di sini boleh ada satu penunggu. Yah, kami hanya mendapatkan satu kartu pasien, masuknya juga bergantian.

Tentu saja kami harus shift-shiftan jaganya. Pokoknya aku sama papa dan adekku yang cewek berjaga pagi, siang, sore. Sedangkan adekku yang cowok nginep malemnya.

Di sinilah aku mulai melihat kondisi rumah sakit dengan sebenarnya. Jujur aja, biasanya kalau rawat inap anakku, kami dapet asuransi dari kantor suami untuk rumah sakit swasta. Kondisinya lebih rapi, dan lebih homey.

Beda kalau di RSUD Dr. Saiful Anwar (RSSA), yang merupakan rumah sakit terbesar tipe A di kota Malang. Banyak pasien dari wilayah Jawa Timur di rujuk ke sini. RSSA ini sudah mampu melakukan tindakan medis layaknya rumah sakit di luar negeri. Misalnya dalam penanganan penyakit kanker, jantung, stroke, dan uronefrologi (KJSU).

Bahkan RSSA juga turut menopang RSUD Dr. Soetomo yang juga menjadi rujukan tersier di Indonesia sekaligus Jawa Timur. Yah ini yang bikin pasien di RSSA banyak banget, dari luar kota dengan kondisi yang beragam.

ICU

Apalagi kalau pasien HCU yang ngga bisa ditemani dalam ruangan, jelas aja penunggunya akan menggelar karpet, membawa bantal, makan, minum, mandi hingga menjemur baju di area koridor. Benar-benar yang menjemur baju di area gazebo gitu.

Aku hanya membatin, betapa kuat mereka ini. Betapa hebat mereka ini. Betapa sayangnya pada keluarga yang sedang sakit hingga berbondong-bondong pindah tempat untuk bergantian jaga.

Pindah Ruangan Bromo

Pindah Ruangan Bromo

Bagiku, merekalah superheroes penunggu rumah sakit sesungguhnya. Bukan hanya dokter jaga, perawat, radiografer, atau pak satpam saja. Para tenaga medis jelas mereka adalah para superhero yang siaga memantau kondisi pasien 24 jam. Namun, para pendamping pasien juga harus siaga 24 jam, membantu keperluan pasien.

Aku ingat seminggu setelah mama dirawat di stroke unit, beliau dipindah ke ruangan bernama Bromo. Sebuah ruangan kelas 3, dengan 6 bangsal dan 1 kamar mandi dalam.

Pertama kali masuk, rasanya aku jetlag kaya orang baru mutasi kerja. Dari ruangan super intensif yang apa-apa dilayani perawat, sekarang harus kami atasi sendiri.

Kami baru tahu kalau mama pake KIS, jadi emang dapetnya yang kelas 3. Kami berjanji akan menggantinya menjadi BPJS Kelas 1. Ngga tega rasanya, lihat kondisi di sini.

Pertama kali masuk ruangan, kami disambut hawa yang gerah. Setiap bangsal seenggaknya ada 2 penunggu yang tidur di bawah. Beralaskan tikar atau karpet kecil, lengkap dengan bantal dan guling.

“Sakit apa mba?” tanya seorang mbak yang diinfus bagian kakinya.

“Dari stroke unit mbak. Darah tinggi sama gejala stroke. Kalau mbak?” tanyaku balik.

Beliau ditemani seorang bapak-bapak yang dugaanku adalah ayahnya. “Oh, saya minggu depan menunggu jadwal operasi. Ada tumor di kepala.”

Para Superheros Penunggu Rumah Sakit

shift jaga

Ibu-ibu sebelah mama malah setiap malam mengerang, pun kedua anaknya ngga berhenti terisak. Bikin mama makin parno, takut ada apa-apa. Hal ini bikin mama ngga bisa tidur malamnya, alhasil paginya tensi jadi naik lagi.

Anak-anaknya dari Jakarta, ya mandi, makan, dan minum di samping ibunya. Sudah satu minggu lebih, katanya diabetes. Saat aku jaga siang, bahkan suaminya sudah menuntun talqin. Makin semriwing aja aku di sana. Takut banget sewaktu-waktu si ibu pergi selama-lamanya.

Sepanjang jalan koridor Bromo, ada sekitar 5 ruangan yang masing-masing berisi 6 bangsal. Maka di sepanjang koridor ini pulalah aku melihat wajah-wajah superheroes penunggu rumah sakit. Mereka yang berwajah murung, mereka yang tidur di kursi, mereka yang makan ala kadarnya, mereka yang sekadar melamun, mereka yang main game, mereka yang memegang tangan pasien, mereka yang tak henti merapal doa melangitkan kesembuhan orang tersayang.

Di titik ini pulalah aku menjadi begitu bersyukur. Dari yang awalnya ngedumel karena dapet kelas terbawah yang jauh dari istimewa, aku justru belajar banyak hal.

Aku mengobrol dengan keluarga penunggu pasien, bagaimana setiap hari bagi mereka adalah sebuah harapan. Setiap hari bagi mereka adalah keajaiban. Setiap hari adalah sebuah kejutan.

Kita tak pernah tahu, apakah akan membawa pasien pulang dalam kondisi sehat, atau malah sebaliknya? Kita tak pernah tahu jatah usia seseorang di dunia. Kita tak pernah tahu kapan seseorang akan berpulang..

Aku capek, kurang istirahat, harus mengurus mama di rumah sakit dan mengurus anak-anak di rumah. Tapi capekku juga ngga ada apa-apanya dibanding mereka yang datang dari jauh. Aku masih bisa pulang dan beristirahat di rumah, kami masih bisa berjaga bergantian.

Bagaimana mereka yang bahkan tak punya kesempatan pulang? Tak hanya lelah fisik, mental juga sangat menderita. Kesehatan memang semahal itu. Dan merawat orang sakit memang cobaan bersama.

Dari sini aku juga belajar tentang ilmu ikhlas. Mengorbankan waktu, tenaga, materi, apapun itu demi kesembuhan seseorang yang sangat berharga bagi kita.

gift

Semoga para superheroes ini, diberi kesehatan, kekuatan dan kelapangan hati seluas samudera oleh Allah.

Terima kasih sudah menjadi pahlawan hebat keluarga..

Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI

By Kurniawans3G

The Kurniawans adalah sebuah catatan keluarga, jelajahi kisah pengasuhan, perjalanan, dan semua cerita menyenangkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *