“Di dalam situasi yang paling menyakitkan dan tidak manusiawi, hidup masih bisa memiliki makna, dan karenanya, penderitaan pun dapat bermakna (meaningful). Kita tidak bisa memilih situasi kita, tetapi kita selalu bisa menentukan sikap (attitude) kita atas yang sedang dialami.”
(Filosofi Teras, hlm. 57)
Ngerasa ngga, kalau sekarang para gen Z udah mulai aware sama isu mental health? Atau malah semua-semua dikaitin sama mental health? Hehehe. Kayanya mereka juga udah pada mulai terbuka untuk menyampaikan isu-isu dan opini tentang apapun.
Media sosial sudah sedekat itu hingga siapapun bisa berbagi apa saja yang dirasakan, pencapaian, kekecewaan, perjalanan, dan banyak hal lainnya.
Tapi nyadar ngga sih, kalau semakin seringnya terkena badai informasi karena akses yang terlalu mudah didapatkan, malah bikin kita overthinking?
Iya apa iya hayoo??
Nah, balik lagi dari perasaan ovt yang kerap dialami siapapun, kami dari dapur Payung Literasi Malang jadi ngide bikin bedah buku Filosofi Teras.
Kenapa harus Filosofi Teras sih?
Sebuah Filosofi yang Realistis
“Tujuan utama dari Filosofi Teras adalah hidup dengan emosi negatif yang terkendali, dan hidup dengan kebajikan (virtue/arete) – atau bagaimana kita hidup sebaik-baiknya seperti seharusnya kita menjadi manusia.”
(hlm. 33)
Lebih dari 2.000 tahun yang lalu, sebuah mahzab filsafat menemukan akar masalah dan juga solusi dari banyak emosi negatif. Stoisisme atau Filosofi Teras (terjemahan langsung dari kata stoa), adalah filsafat Yunani – Romawi kuno yang bisa membantu kita mengatasi emosi negatif dan menghasilkan mental yang tangguh dalam menghadapi naik turunnya kehidupan.
Kamu pasti membayangkan, buku ini bakal berat banget karena bahas filsafat. Justru sebaliknya, Filosofi Teras justru bersifat praktis dan relevan banget buat kehidupan milenial dan gen Z masa kini.
Epictetus, salah satu pelopor stoisisme zama kuno juga ngomong kea gini,
“Ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak bergantung pada) kita.”
(hlm. 46)
Jadi emang kalau kita fokus aja pada apa-apa yang bisa kita kendalikan, maka kita akan bahagia. Sedangkan ketidakbahagiaan justru berasal dari hal-hal yang ngga bisa kita kendalikan. Gitu.
Studi Kasus Bersama Psikolog
Bedah buku kali ini kenalan dulu yuk sama pembedahnya, Aldila Putri K, M.Psi, Psikolog. Beliau membuka sesi bedah buku dengan memberi kami selembar kertas berisi studi kasus.
- Akun sosial media yang terkunci/ tiba-tiba tidak bisa mengakses akun medsos.
- Tumbuh kembang anak yang tidak sama dengan anak tetangga/ anak lain.
- Putus dengan pacar yang sudah merencanakan ke jenjang serius.
- Perjalanan karir yang tidak sesuai dengan rencana dan ekspektasi.
- Kehilangan dompet/ ketinggalan HP
Jadi kami harus berdiskusi berpasangan dan memilih kasus mana yang pernah dialami dan ingin dibahas. Menurutku ini sesi yang paling seru juga sih. Kami bisa saling berbagi insisght satu sama lain. Kami juga mendengarkan kisah temen-temen yang kebanyakan kami pernah mengalaminya juga, dengan sudut pandang berbeda.
Setelah diskusi alot, aku sama partnerku memutuskan pilihan nomor 4 sih. Yah aku juga pernah mengalami masa-masa suram perjalanan karir yang ngga mulus hahaha. Gitu lah, labil-labilnya.
Kak Dila pun tanya, gimana kita bisa meng-handle masalah tersebut? Apa yang kita lakukan? Apakah kita panik? Overthinking? Atau malah selow aja?
Ya jawaban tiap orang bisa berbeda kan..
Dikotomi Kendali di Situasi Sehari-hari
“Kamu memiliki kendali atas pikiranmu – bukan kejadian-kejadian di luar sana. Sadari ini, dan kamu akan menemukan kekuatan.”
(hlm. 69)
Kak Dila tanya lagi, “overthinking tuh selalu negatif atau ada positifnya?”
Nah lho!
Banyak jawaban yang muncul.
“hmm, ada positifnya sih. Kalau ngga ada ovt tar kita jadi loss juga kan. Ngga berasa khawatir sama sekali sama masa depan..,” kata sesembak.
Kak Dila tersenyum.
“Iya deh kayanya fifty:fifty, penting juga sedikit overthinking, mbaa..” kata yang lain.
Kak Dila menjawab, “overthinking selalu negatif, ngga ada positifnya sedikitpun..”
Lha terus gimana dong, kita jadi ngga punya ketakutan sama sekali? Apa gimana?
Ya. Overthinking itu negatif ya gesss. Jadi kalau kamu mikirnya, ovt (lumayan) baik buat masa depanmu karena kamu jadi udah bikin plan ini itu buat mengantisipasinya, ternyata salah.
Karena kadang kamu justru mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi kan?
Justru kamu harus well prepared untuk menyikapi ketakutanmu sendiri. Ovt bikin menghambat dan bikin kamu malah ngga berani ambil keputusan. Ini yang bikin ngga maju.
Karena dampaknya ovt ini hebat banget. Kamu bisa kena gangguan psikologis, gangguan kecemasan, serangan panik, bahkan susah tidur. Ini juga yang bikin ujungnya jadi depresi.
Di sinilah peran dikotomi kendali. Para filsuf Stoa memisahkan hal-hal yang bisa dikendalikan dan yang tidak.
Fokus kepada hal-hal yang bisa kita kendalikan bisa membantu kita melalui masa hidup tersulit sekalipun, karena sikap kita dan persepsi kiita “ada sepenuhnya di bawah kendali kita”.
Misalnya kata Kak Dila, dia bisa mengendalikan hal-hal seperti bikin materi buat bedah buku, berusaha acaranya lancar, berusaha menjawab pertanyaan teman-teman dengan baik, itu semua bisa beliau kendalikan.
Sedangkan ekspektasi teman-teman, apakah puas dengan acara ini, puas dengan jawaban pembedah, apakah senang bisa hadir dan diskusi, ini masuk ranah yang beliau tak bisa kendalikan.
Kenalan dengan STAR
Pada saat emosi negatif (mau ngamuk, baper, sedih, frustasi, dll) menerpa, filsuf stoa mengajarkan sebuah prinsip yang disebut STAR (Stop, Think, Asses, Respond).
Dengan STAR ini kita bisa menyikapi masalah dengan runtut, hingga masalah yang terjadi bisa dicari akar permasalahannya dan jalan keluarnya.
Stop. Saat merasakan emosi negative, kamu harus berhenti dulu jangan sampai malah berlarut-larut. Teriak “time-out!” dalam hati. Kamu bisa melatih semua emosi negative begitu terdeteksi. Semakin sering dilatih semakin efektif dilakukan.
Think & Assess. Sesudah mengehentikan proses emosi sejenak, kita bisa aktif berpikir. Kalau udah berpikir dengan lebih tenang, barulah kita bisa menilai (assess) perasaan negatif tentang masalah yang kita alami, benar atau tidak?
Respond. Sesudah menggunakan nalar, berupaya untuk rasional dalam mengamati situasi, dan semoga saat emosi udah turun, baru deh memikirkan respon yang akan diberikan. Respon bisa dalam bentuk ucapan maupun tindakan.
Harapannya respon yang datang setelah kita memikirkan situasinya baik-baik, adalah hasil penggunaan nalar/ rasio yang sebaik-baiknya.
Nah gimana? Ternyata Filosofi Teras ini cocok banget kan buat diaplikasikan karena dekat abnget dengan keseharian kita. Apalagi yang sumbu pendek, kesabaran setipis tisu dibelah hahaha.
Buku ini sangat direkomendasikan buat kamu yang lagi pengen mengendalikan emosi negatif. Biar lebih tenang menjalani hidup selaras dengan alam. Sebab kita akan memikirkan apa yang seharusnya kita pikirkan dan tidak memikirkan apa yang di luar kendali kita dan tidak seharusnya kita pikirkan.
Oke deh, bye bye ovt!
FILOSOFI TERAS: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini
Penulis: Henry Manampiring
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit: Cetakan 5, Februari 2019
Jumlah Halaman: 344